like the flowing river

be like the flowing river.
silent in the night.
be not afraid of the dark.
if there are stars in the sky,
reflect them back.
if there are clouds in the sky,
remember, clouds, like the river, are water.
so, gladly reflect them too,
in your own tranquil depths.

~manuel bandeira

Sunday, August 16, 2015

tujuh puluh



Angka tujuh selalu menjadi angka yang sakral. Angka tujuh menjadi angka sempurna penggenap, angka untuk pahlawan, selebriti, dan diperebutkan bintang bola. Banyak pula yang mencari-cari angka tujuh untuk mengabadikan cintanya. Nah, di angka tujuh ini, tujuh belas agustus Indonesia akan ulang tahun yang ketujuhpuluh. Jenuh juga, pasti pertanyaan yang sama diulang-ulang: setelah sekian puluh Indonesia merdeka, apa warga negaranya sudah bisa menikmati kemerdekaan? Bosan juga pasti isu itu lagi itu lagi yang diangkat media. Sekolah mau ambruk, jembatan putus, jalanan rusak, masyarakat miskin, listrik belum masuk ke daerah pedalaman. Apa lagi? Ah kalau mau disebutkan satu per satu novel-lah jadinya tulisan ini. Bukannya saya tidak peduli pada ketidakberuntungan yang dialami oleh saudara-saudara kita sebangsa setanah air lainnya, tapi, yuk coba kita lihat dari yang paling dekat, yaitu diri kita sendiri. Di ulang tahun yang ketujuhpuluh ini, sebagai warga negara baik berhati nurani luhur budi pekerti, mari kita introspeksi diri kita tujuh kali tujuh puluh tujuh kali.


Mumpung di media sosial sedang tren soal rombongan motor Harley Davidson yang, menurut panitia di harian Kompas, sebanyak 4.000 orang, dicegat oleh sekelompok pesepeda yang kesal karena mereka menerobos lampu merah. Sudah dapat ditebak jalanan dari tiga arah lainnya pasti macet berat karena rombongan yang segitu banyaknya. Sebagai warga negara biasa, mau bagaimana lagi? Di situ polisi semua yang jaga. Tapi, mas Elanto justru dengan berani mencegat dan menentang mereka. Apakah kita sudah berani seperti Mas Elanto? Saya sih enggak. Tapi paling tidak, apakah kita berani berprinsip seperti beliau? Punya nilai yang kita pegang teguh. Kalau menerobos lampu merah itu tidak benar, ya jangan ikut-ikutan hanya karena semua orang menorobos lampu merah. Kalau semua motor melawan arus, bukan berarti melawan arus itu dibenarkan dan kita boleh mengikutinya. Apakah kita berpegangteguh pada kebenaran?

Sebagai warga negara dan katanya cinta Indonesia, seperti apakah nasionalis itu? Dengan memajang bendera merah putih di depan rumah kah? Keliling kota bersama konvoy besar-besaran dengan menyewa polisi sekian rupiah sambil bawa-bawa bendera merah putih kah? Teriak-teriak “Pancasila Yes! Komunis No!” kah? Menurut KBBI, nasionalisme adalah: 1. paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan: -- makin menjiwai bangsa Indonesia; 2. kesadaran keanggotaan dl suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan. Esensinya adalah cinta sehingga kita melakukan yang terbaik untuk negara supaya cita-cita bersama dapat diwujudkan. Yang namanya cinta tidak mungkin melakukan yang menyakiti. Yang namanya cinta pasti memberi yang baik. Untuk mewujudkan cita-cita bersama, berarti mengutamakan kepentingan bersama. Sesederhana itu. Apapun itu, entah itu melalui karya, mengabdi menjadi pegawai atau pejabat negara, menjadi tentara membela di garis depan, menjadi banker, atau bahkan menjadi pegawai kebersihan.

Apakah kita sudah melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama supaya negara dan orang-orang di sekitar kita menjadi lebih baik? Atau kita hanya mengeluh mendumel bahkan merugikan orang lain? Apakah kita konvoy dengan ratusan motor lain membawa bendera merah putih sambil menyebarkan sampah sepanjang perjalanan sambil membuat jalanan yang kita lalui menjadi macet? Apakah kita teriak-teriak anti-komunis tetapi berdagang dengan mengambil untung sebesar-besarnya sampai menyulitkan orang lain? Apakah kita menjadi pegawai negara hanya untuk menerima tunjangan bulanan dan pension sementara sering bolos dan mencari-cari pelicin? Apakah kita kuliah tinggi-tinggi hanya untuk mendapatkan ijazah dan senang-senang hangout dengan teman melupakan kewajiban kita untuk turut berkontribusi membangun negeri? Apakah kita marah-marah jalanan macet tapi kita sendiri mutar di tempat yang membuat kendaraan mengantri ratusan meter? Apakah kita protes jatuhnya nilai rupiah sementara kita ganti-ganti gawai dan mobil dan apparel impor dan naik mobil kemana-mana padahal bisa menggunakan angkutan umum atau jalan kaki? Untuk rupiah kuat tentu saja kita harus mengencangkan ikat pinggang, tidak menjadi warga yang konsumtif tapi produktif. Beli barang-barang lokal, belanja di pasar dan warung, gunakan gawai sesuai fungsinya, kuliah untuk mengabdi, bekerja untuk melayani. 

Tapi, yang terpenting, apapun itu pekerjaan dan kewajiban kita, apakah kita sudah melakukannya dengan meraki? Segenap yang kita miliki untuk mengabdi dan memajukan negara ini mengorbankan keinginan dan hasrat personal masing-masing kita? Mau jadi tukang sapu pun, menyapulah seperti Beethoven menciptakan musiknya. Sudahkah kita demikian?

Saya sendiri sih belum. Saya masih sering malas-malasan. Enak-enakan dengan orang dari orang tua. Tapi paling tidak saya tidak ingin melakukan hal-hal yang merugikan orang dan mencoba sebisa mungkin membuat lingkungan saya lebih baik. Saya tidak nerobos lampu merah, tidak melawan arus, tidak U-turn di tempat yang tidak boleh, menyimpan sampah kalau belum ada tempat untuk membuang sampah, tidak merokok, sebisa mungkin jalan atau naik angkot, diet plastik, ikut organisasi untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Malas-masalan memang sifat buruk yang terburuk saya yang harus segera saya atasi supaya saya bisa menjadi lebih produktif untuk negara.

Thursday, August 13, 2015

indo orgasm



Ini sudah tiga hari sejak sebuah acara besar organisasi yang saya ikuti, Rotaract, mengadakan pertemuan dengan klub dari 15 negara lain selain Indonesia. Asia Pacific Regional Rotaract Conference sudah keduabelas kalinya diadakan. Tahun ini, negara saya dengan bangga menjadi tuan rumah yang mengambil lokasi di Yogyakarta, tepatnya Sheraton Mustika Jaya. Selama empat hari dari tanggal 8-11 Agustus kami bertemu, berkenalan, dan berbagi dengan lebih dari 400 orang yang berasal dari Taiwan, Filipina, Tiongkok, Jepang, Malaysia, Singapura, Mongolia, Macau, Thailand, Hongkong, Italia, Korea Selatan, India, Australia, dan bahkan negara kecil Guam di tengah Samudera Pasifik sana datang berkunjung ke Indonesia.



Walaupun agak sulit beradaptasi karena sifat dasar saya yang sering canggung-canggungan dan agak-agak pemalu sejak saya kecil dan masih belum juga hilang sampai sekarang, saya sangat bersyukur mengikuti konferensi ini. Awalnya enggan karena harganya yang mahal, tapi akhirnya dibela-bela juga, mumpung di negeri sendiri daripada di negeri orang lain pasti lebih mahal lagi harganya. Segala perasaan naik turun dari senang, malu, tidak sabar, gregetan, canggung, girang, ketawa, sedih, lucu, bangga, kangen, bosan, capek, kesal, sampai akhir acara yang berujung pada rasa sedih berpisah semua berakumulasi menjadi satu roller coaster dengan lingkaran ganda orgasme Indonesia. Sesuai dengan tanda pagar acara ini: #INDOgasm. 

Banyak kekurangan dari acara ini. Molor, administrasi semrawut, kamar hotel belum siap saat peserta datang, kata sambutan yang selalu lebih lama dari acara utamanya, ritme acara yang kurang sigap. Belum lagi seminar dan workshop-nya yang sangat sebentar dan kurang mengena. Tapi ya sudahlah, seperti adegan seks pun ada saat-saat yang kurang nyamannya. Dan seperti seks juga lebih baik fokus ke yang enaknya supaya tanjakan dari halilintar ini dapat sampai di titiknya yang tertinggi lalu jatuh ke jalur berputar nan orgasmik. 





Dunia terasa menjadi sangat kecil. Bertemu begitu banyak orang dari negara dengan bentuk-bentukan yang sangat beragam di satu tempat. Sekarang berbicara dengan orang Jepang sebentar bicara dengan orang Australia, nanti lagi berblepotan dengan orang Taiwan. Dengan gaya-gaya antar negara yang tidak sama satu dan yang lain, aksen-aksen lucu di kuping kita yang di kuping mereka aksen kita pun aneh, bertukar makanan dan kartu nama. Panas-panasan di pinggir sungai untuk menanam pohon setelah bosan terpanggang oleh ceramah para pejabat gila hormat. Takjub dengan perspektif baru yang saya punya saat ketigakalinya mengunjungi Borobudur, bangga menjelaskannya ke teman dari Taiwan, dan lagi terbakar oleh matahari pukul tiga saat itu, dan masih harus berjalan satu kilometer dari candi megah itu ke dalam bus. Sekali-kalinya ke Prambanan untuk makan malam yang seharusnya mewah dan menyaksikan elegannya sendratari Ramayana dengan latar belakang candinya Roro Jonggrang menggunakan pakaian glamor. Melepaskan lentera-lentera ke atas langit, terbang ke atas Prambanan dengan begitu melankolisnya. Malamnya kami bergoyang tak henti sampai mabuk oleh ritme DJ kita dari Malaysia, Rufus. Takjub dengan tarian teman-teman Jepang yang epic sekaligus absurd,membuat badan tidak bisa menolak hati ingin mengikutinya.  

 Dunia terasa menjadi sangat besar. Melihat begitu banyaknya orang dari negara-negara itu yang begitu hebat. Mereka profesional di usianya yang tidak jauh dari saya. Saya menjadi merasa kecil di depan mereka yang begitu ambisius mengejar mimpi-mimpinya. Mereka begitu fasihnya menjadi tutor workshop saat itu dengan prestasi-prestasinya yang luar biasa. Dan itu masih hanya sehelai rambut dari seluruh rambut lebat di seluruh dunia. Saya pun terbukti tidak terbiasa bergaul dengan orang-orang baru, terlebih orang-orang baru yang bukan orang Indonesia dan orang asing yang tidak fasih berbahasa Inggris. Selama empat hari itu pun saya dibuat bertanya-tanya: mampukah saya bersaing dengan orang-orang lain di bidang saya? Ataukah saya hanya bisa bersaing di Indonesia saja? Ataukah saya tidak mampu menjadi penduduk dunia? Pertanyaan yang akan saya jawab dengan perbuatan saya sejak saat itu ke depan. 

Rotaract-lah yang membuat saya terus terpacu untuk menjadi yang terbaik untuk diri saya sendiri karena masih banyak yang jauh jauh lebih hebat dari saya. Apalah saya dengan prestasi yang tidak ada apa-apanya. Karya adalah satu-satunya ekspresi diri untuk membuktikan diri sendiri.
Sungguh empat hari yang sangat berharga. Hanya dengan empat hari pikiran saya terkesima, sesuai dengan slogan utama konferensi ini: “Blow your mind!”. Well, I am blown away. Susah untuk beranjak dari euforia APRRC kemarin. Biarlah ini yang menjadi cambuk saya untuk terus berlari menerbangkan gelembung-gelembung mimpi saya. 

Terima kasih APRRC Yogyakarta. Sampai jumpa di APRRC 2016 di Kyoto tahun depan!

Tuesday, August 4, 2015

di bawah lampu remang



Lama Ia menunggu
Sesekali ia maju sedikit
                dengan ragu
Atau mungkin enggan adalah kata yang lebih tepat
Ia lalu kembali mundur

Segelintir manusia sudah berada di dalam
Duduk saling berjauhan
                Seorang sudah berpangku tangan
                Seorang sudah bersandar setengah sadar
                Seorang sudah menjelajah dunia lain
                Seorang sudah menjelajah alam di dalam dirinya
Tidak ada jiwa di bawah lampu remang-remang
                yang hanya menerangi ruang itu seadanya

Sang Ia pun hanya terus menoleh ke belakang
Sesekali Sang Ia hanya maju sedikit
Namun hanya harapan yang ia berikan
Satu langkah ia maju
Sepuluh kaki ia mundur
                CK!!!
                Sebuah lidah berdecak
                Hmmmmmhhhhh.....
                Sebuah nafas terhela
                Tok tok tok tok. Tok tok tok tok. Tok tok tok tok.
                Empat jemari membuat irama
                Dug dug dug dug dug. Dug dug dug dug dug.
                Sebuah kaki tidak mampu diam
Ia maju sedikit untuk menenangkan
                Si lidah
                Si nafas
                Si tangan
                Dan si kaki
Ternyata hanya harapan yang Ia berikan
Hanya tiga langkah ia maju

Kembali diam.

Sepasang mata berputar dari kiri ke atas lalu ke kanan
Sepasang tangan melipat
Sebuah dagu bertumpu di tangan
Sebuah punggung menyandar
Tetap saja di bawah lampu remang-remang itu
                tidak ada jiwa di sana

Kapan Sang Ia tidak hanya memberi harapan dan kembali diam
Kapan Sang Ia akan maju?
Kapan Sang Ia melaju?



Hanya ketika sang lidah berkata
                “Bang! Maju Bang!”
Sang tangan menepuk pundak Sang Ia berkata
                “Bang! Cepetan Bang!”
Sang kaki mendekat dan berkata
                “Bang! Gue turun nih kalo ga jalan-jalan Bang!”

Hanya ketika seluruh jiwa berkumpul
                Di bawah lampu remang-remang itu.

untuk apa sunyi?



Karena sunyi adalah kesendirian
Berkawanan adalah utama
Dikelilingi adalah yang terpenting

Karena menjadi sama dengan yang lain adalah
                jati diri

Saat sunyi siapa yang mendengarkanmu?

Bagaimana dirimu menjadi nyata
                kalau kamu tidak menyatakan dirimu?

Sekeras-kerasnya suara keluar
                itulah eksistensimu di dunia

Karena suara-suara di sekelilingmu lebih penting
dari pada suara dari dalam dirimu sendiri