Angka tujuh selalu menjadi angka yang sakral. Angka tujuh
menjadi angka sempurna penggenap, angka untuk pahlawan, selebriti, dan
diperebutkan bintang bola. Banyak pula yang mencari-cari angka tujuh untuk
mengabadikan cintanya. Nah, di angka tujuh ini, tujuh belas agustus Indonesia
akan ulang tahun yang ketujuhpuluh. Jenuh juga, pasti pertanyaan yang sama
diulang-ulang: setelah sekian puluh Indonesia merdeka, apa warga negaranya
sudah bisa menikmati kemerdekaan? Bosan juga pasti isu itu lagi itu lagi yang
diangkat media. Sekolah mau ambruk, jembatan putus, jalanan rusak, masyarakat
miskin, listrik belum masuk ke daerah pedalaman. Apa lagi? Ah kalau mau
disebutkan satu per satu novel-lah jadinya tulisan ini. Bukannya saya tidak
peduli pada ketidakberuntungan yang dialami oleh saudara-saudara kita sebangsa
setanah air lainnya, tapi, yuk coba kita lihat dari yang paling dekat, yaitu
diri kita sendiri. Di ulang tahun yang ketujuhpuluh ini, sebagai warga negara
baik berhati nurani luhur budi pekerti, mari kita introspeksi diri kita tujuh
kali tujuh puluh tujuh kali.
Mumpung di media sosial sedang tren soal rombongan motor
Harley Davidson yang, menurut panitia di harian Kompas, sebanyak 4.000 orang,
dicegat oleh sekelompok pesepeda yang kesal karena mereka menerobos lampu
merah. Sudah dapat ditebak jalanan dari tiga arah lainnya pasti macet berat
karena rombongan yang segitu banyaknya. Sebagai warga negara biasa, mau
bagaimana lagi? Di situ polisi semua yang jaga. Tapi, mas Elanto justru dengan
berani mencegat dan menentang mereka. Apakah kita sudah berani seperti Mas
Elanto? Saya sih enggak. Tapi paling tidak, apakah kita berani berprinsip
seperti beliau? Punya nilai yang kita pegang teguh. Kalau menerobos lampu merah
itu tidak benar, ya jangan ikut-ikutan hanya karena semua orang menorobos lampu
merah. Kalau semua motor melawan arus, bukan berarti melawan arus itu
dibenarkan dan kita boleh mengikutinya. Apakah kita berpegangteguh pada
kebenaran?
Sebagai warga negara dan katanya cinta Indonesia, seperti
apakah nasionalis itu? Dengan memajang bendera merah putih di depan rumah kah?
Keliling kota bersama konvoy besar-besaran dengan menyewa polisi sekian rupiah
sambil bawa-bawa bendera merah putih kah? Teriak-teriak “Pancasila Yes! Komunis
No!” kah? Menurut KBBI, nasionalisme adalah: 1. paham (ajaran) untuk mencintai
bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan: -- makin menjiwai bangsa
Indonesia; 2. kesadaran keanggotaan dl suatu bangsa yg secara potensial
atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas,
kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan. Esensinya adalah
cinta sehingga kita melakukan yang terbaik untuk negara supaya cita-cita
bersama dapat diwujudkan. Yang namanya cinta tidak mungkin melakukan yang
menyakiti. Yang namanya cinta pasti memberi yang baik. Untuk mewujudkan
cita-cita bersama, berarti mengutamakan kepentingan bersama. Sesederhana itu. Apapun
itu, entah itu melalui karya, mengabdi menjadi pegawai atau pejabat negara,
menjadi tentara membela di garis depan, menjadi banker, atau bahkan menjadi
pegawai kebersihan.
Apakah kita sudah melakukan sesuatu untuk kepentingan
bersama supaya negara dan orang-orang di sekitar kita menjadi lebih baik? Atau
kita hanya mengeluh mendumel bahkan merugikan orang lain? Apakah kita konvoy
dengan ratusan motor lain membawa bendera merah putih sambil menyebarkan sampah
sepanjang perjalanan sambil membuat jalanan yang kita lalui menjadi macet? Apakah
kita teriak-teriak anti-komunis tetapi berdagang dengan mengambil untung
sebesar-besarnya sampai menyulitkan orang lain? Apakah kita menjadi pegawai
negara hanya untuk menerima tunjangan bulanan dan pension sementara sering
bolos dan mencari-cari pelicin? Apakah kita kuliah tinggi-tinggi hanya untuk
mendapatkan ijazah dan senang-senang hangout
dengan teman melupakan kewajiban kita untuk turut berkontribusi membangun
negeri? Apakah kita marah-marah jalanan macet tapi kita sendiri mutar di tempat
yang membuat kendaraan mengantri ratusan meter? Apakah kita protes jatuhnya
nilai rupiah sementara kita ganti-ganti gawai dan mobil dan apparel impor dan naik mobil kemana-mana
padahal bisa menggunakan angkutan umum atau jalan kaki? Untuk rupiah kuat tentu
saja kita harus mengencangkan ikat pinggang, tidak menjadi warga yang konsumtif
tapi produktif. Beli barang-barang lokal, belanja di pasar dan warung, gunakan
gawai sesuai fungsinya, kuliah untuk mengabdi, bekerja untuk melayani.
Tapi, yang terpenting, apapun itu pekerjaan dan kewajiban
kita, apakah kita sudah melakukannya dengan meraki? Segenap yang kita miliki
untuk mengabdi dan memajukan negara ini mengorbankan keinginan dan hasrat
personal masing-masing kita? Mau jadi tukang sapu pun, menyapulah seperti
Beethoven menciptakan musiknya. Sudahkah kita demikian?
Saya sendiri sih belum. Saya masih sering malas-malasan.
Enak-enakan dengan orang dari orang tua. Tapi paling tidak saya tidak ingin melakukan
hal-hal yang merugikan orang dan mencoba sebisa mungkin membuat lingkungan saya
lebih baik. Saya tidak nerobos lampu merah, tidak melawan arus, tidak U-turn di
tempat yang tidak boleh, menyimpan sampah kalau belum ada tempat untuk membuang
sampah, tidak merokok, sebisa mungkin jalan atau naik angkot, diet plastik,
ikut organisasi untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Malas-masalan
memang sifat buruk yang terburuk saya yang harus segera saya atasi supaya saya
bisa menjadi lebih produktif untuk negara.


