like the flowing river

be like the flowing river.
silent in the night.
be not afraid of the dark.
if there are stars in the sky,
reflect them back.
if there are clouds in the sky,
remember, clouds, like the river, are water.
so, gladly reflect them too,
in your own tranquil depths.

~manuel bandeira

Tuesday, July 21, 2015

lorong waktu



Malam yang lalu menjadi momen lorong waktu. Aku masuk ke kamar. Kamar yang kini tidak lagi menjadi tempat personalku, menutup pintu, menyalakan bohlam lampu, duduk, tidur, bermain gawai berselancar dunia maya. Kini ruang itu adalah ruang memori. Mengotak-ngotakkan dan membungkus segala macam artefak kehidupanku sejak pindah ke kota ini satu setengah dekade yang lampau. Yang ini di laci, yang itu di kardus, yang itu lagi di map, yang itu lagi di lemari, yang itu lagi sudah nyaris hilang wujud termakan kala. 

Mungkin hampir setiap orang mempunyainya. Sebuah bejana yang berisi segilintir benda yang di mata orang lain sepele. Tapi, jika si empunya membuka bejana itu, menyemburlah semua memori dan emosi yang ada di masa lalu kita. Kilatan-kilatan ingatan berlarian di pikiran. Berlomba-lomba memasuki tempat utama di otak kita, berebut lampu panggung utama. Yang ini muncul dan langsung tergantikan oleh masa yang lain lalu yang lain mulai menggantikan lagi. Bermunculan tak terkendali, bahkan yang kita kira ia sudah tidak lagi di sana. Seenaknya memainkan emosimu, seakan kamu adalah banteng yang sengaja dipecut supaya para koboi-koboi dapat mengadu ketahanan berada di pundakmu yang mengamuk-amuk. Tawa ketika melihat teman-temanmu bercanda konyol, kegalauan remaja diputus cintanya, kealayan diri sendiri saat jatuh cinta, atau surat-surat cinta monyetmu dulu, tukar-tukaran contekan, konflik dengan sahabatmu yang sebenarnya tidak masuk akal, pamer-memamer kepada manusia berkelamin lawan. Dalam sekejap semuanya keluar begitu saja.

Tumpukan lembar-lembar pelajaran sekolahmu pun satu per satu dibuka, dibaca kembali. Mengingat-ingat apa saja yang dulu kita tongkrongi dari jam setengah delapan pagi sampai setengah empat sore. Membayangkan kita menghayal-hayal saat celotehan guru berkumandang berjam-jam. Merasakan kembali tegangnya saat-saat akan ujian, melanglang entah ke mana obrolan kita saat belajar bersama. Nilai-nilai 4, 6, yang muncul. Tapi sumringahmu pun tidak tertahankan mendesak bibirmu ketika 9 dan 10 kau dapatkan. Guru-guru yang begitu menginspirasi dan mengubah hidupmu selamanya sampai mereka yang engkau benci setengah mati dahulu tapi berterimakasih kini. 

Pikiran-pikiran naifmu yang sungguh naïf sampai sekarang pun. Cita-citamu yang akhirnya kesampaian dan sebagian lagi bahkan engkau lupakan dan buang jauh-jauh. Idealisme yang bermetamorfosis. Keyakinan tumbuh. Otot rasional yang tumbuh semakin kuat menopang idealnya pikiranmu. 

Semuanya ada di sana. Dan saat kau berada hampir di ujung lorong waktu itu, semuanya mereda. Engkau menghela nafas. Menoleh ke belakang sebelum melangkahkan kaki ke luar. Dan engkau melihat betapa jauhnya perjalananmu walaupun itu mungkin belum seperempatnya hidupmu nanti. Bersyukur atas semuanya yang telah terjadi yang telah membentukmu sedemikian rupa, entah itu baik atau buruk, menyenangkan atau malah menjadi teror di benakmu, inilah dirimu sekarang. Lalu engkau mengembalikan wajahmu ke depan, menyiapkan semua indera ke masa depan. Dan kita pun melangkah ke luar – melanjutkan lorong yang kita gali dan bangun. Entah di mana ujungnya.


Semua sudah direncanakan oleh-Nya, kita hanya perlu meraki.

No comments:

Post a Comment