Malam yang lalu menjadi momen lorong waktu. Aku masuk ke
kamar. Kamar yang kini tidak lagi menjadi tempat personalku, menutup pintu,
menyalakan bohlam lampu, duduk, tidur, bermain gawai berselancar dunia maya.
Kini ruang itu adalah ruang memori. Mengotak-ngotakkan dan membungkus segala
macam artefak kehidupanku sejak pindah ke kota ini satu setengah dekade yang
lampau. Yang ini di laci, yang itu di kardus, yang itu lagi di map, yang itu
lagi di lemari, yang itu lagi sudah nyaris hilang wujud termakan kala.
Mungkin hampir setiap orang mempunyainya. Sebuah bejana yang
berisi segilintir benda yang di mata orang lain sepele. Tapi, jika si empunya
membuka bejana itu, menyemburlah semua memori dan emosi yang ada di masa lalu
kita. Kilatan-kilatan ingatan berlarian di pikiran. Berlomba-lomba memasuki
tempat utama di otak kita, berebut lampu panggung utama. Yang ini muncul dan
langsung tergantikan oleh masa yang lain lalu yang lain mulai menggantikan
lagi. Bermunculan tak terkendali, bahkan yang kita kira ia sudah tidak lagi di
sana. Seenaknya memainkan emosimu, seakan kamu adalah banteng yang sengaja
dipecut supaya para koboi-koboi dapat mengadu ketahanan berada di pundakmu yang
mengamuk-amuk. Tawa ketika melihat teman-temanmu bercanda konyol, kegalauan
remaja diputus cintanya, kealayan diri sendiri saat jatuh cinta, atau
surat-surat cinta monyetmu dulu, tukar-tukaran contekan, konflik dengan
sahabatmu yang sebenarnya tidak masuk akal, pamer-memamer kepada manusia
berkelamin lawan. Dalam sekejap semuanya keluar begitu saja.
Tumpukan lembar-lembar pelajaran sekolahmu pun satu per satu
dibuka, dibaca kembali. Mengingat-ingat apa saja yang dulu kita tongkrongi dari
jam setengah delapan pagi sampai setengah empat sore. Membayangkan kita
menghayal-hayal saat celotehan guru berkumandang berjam-jam. Merasakan kembali
tegangnya saat-saat akan ujian, melanglang entah ke mana obrolan kita saat
belajar bersama. Nilai-nilai 4, 6, yang muncul. Tapi sumringahmu pun tidak
tertahankan mendesak bibirmu ketika 9 dan 10 kau dapatkan. Guru-guru yang
begitu menginspirasi dan mengubah hidupmu selamanya sampai mereka yang engkau
benci setengah mati dahulu tapi berterimakasih kini.
Pikiran-pikiran naifmu yang sungguh naïf sampai sekarang
pun. Cita-citamu yang akhirnya kesampaian dan sebagian lagi bahkan engkau
lupakan dan buang jauh-jauh. Idealisme yang bermetamorfosis. Keyakinan tumbuh.
Otot rasional yang tumbuh semakin kuat menopang idealnya pikiranmu.
Semuanya ada di sana. Dan saat kau berada hampir di ujung
lorong waktu itu, semuanya mereda. Engkau menghela nafas. Menoleh ke belakang
sebelum melangkahkan kaki ke luar. Dan engkau melihat betapa jauhnya
perjalananmu walaupun itu mungkin belum seperempatnya hidupmu nanti. Bersyukur
atas semuanya yang telah terjadi yang telah membentukmu sedemikian rupa, entah
itu baik atau buruk, menyenangkan atau malah menjadi teror di benakmu, inilah
dirimu sekarang. Lalu engkau mengembalikan wajahmu ke depan, menyiapkan semua
indera ke masa depan. Dan kita pun melangkah ke luar – melanjutkan lorong yang
kita gali dan bangun. Entah di mana ujungnya.
Semua sudah direncanakan oleh-Nya, kita hanya perlu meraki.
No comments:
Post a Comment