Malam hiruk. Gelap pikuk. Instrumen-instrumen musik ditata,
disiapkan, menyiapkan sebuah permainan melodi dan nada yang terangkai dan
mengharmoni. Kuning cahaya memberikan kemilau seadanya pada wujud-wujud di
sana. Hari itu, malam itu, didedikasikan untuk sahabat saudara sebuah jurusan
yang menempati gedung paling tua, sedang bertarung melawan sel-sel ganas yang
mengamuk di tubuhnya. Materi seadanya dikumpulkan, berharap seadanya itu cukup
untuk kami ada di sisinya melawan amukan tubuhnya sendiri.
Ini sebuah momen humanis. Momen kekeluargaan. Momen makhluk
sosial bersosial. Momen manusia bermanusia. Momen sang eksisten
mengeksistensikan dirinya.
Sang Jantan berlalulalang. Beradu gaya, beradu eksistensi.
Para perempuan berjalan seakan itu panggung. Memoles propertinya, mempromosikan
propertinya, begitu istilah Nukila Amal. Diam menjadi terbelakang. Berada di
luar lingkaran adalah memalukan.
Aku duduk di belakang. Di luar lingkaran. Observasi terhadap
sebuah momen krusial manusia itu. Dua temanku bersama saya, ikut termangu
melihat kemanusiaan yang terjadi.
Hingga suatu detik, bunga rumput di antara bunga-bunga mawar
bunga-bunga matahari bunga-bunga lili muncul dari permukaan. Datang entah dari
mana. Tidak memoles tidak membusung. Duduk di luar lingkaran, mungkin enggan
berada di antara bunga-bunga narisistis itu, ikut mengamati.
Sedari dulu aku selalu tertarik terhadap yang biasa, tidak
menonjol, tidak membusung, tidak mencolok, tidak disorot sekian lusin lampu di
tengah panggung disoraki penonton. Yang biasa itu adalah yang tidak biasa.
Menjadi tinggi oleh kerendahannya. Dituju mata seperti nada biru yang diam di
antara nada-nada kuning dan merah yang mencolok. Diam, tetapi lantang. Indah.
Sahaja. Tinggi, tidak meninggi dan meninggikan. Dengan alami seperti bambu
menyejukkan merunduk bergemulai tertiup angin eksotis, bukan cemara yang tinggi
besar dingin angkuh tajam.
Sering kali di dalam hidup satu detik, hanya satu detik
saja, mengubah segalanya. Satu kata yang keluar dalam satu detik memutus
keluarga, persahabatan, hubungan. Satu tinju dalam satu detik menghacurkan
sekota. Satu tatap dalam satu detik memecut orang-orang. Satu pikiran dalam
satu detik mengubah laku dan aksi. Satu senyum dalam satu detik mewarnai hidup
monokrom. Satu terima kasih dalam satu detik mengangkat hati hancur. Satu kasih
sayang, hanya dalam satu detik, mengubah takdir hidup.
Dan satu detik itulah pikiranku mengubah tekadku. Di dalam
satu detik itu tekadku mengubah laku dan aksiku. Di dalam satu detik itu, takdirku
ditentukan. Ketidakpercayaan diri tertimbun. Keyakinan muncul ke permukaan.
Kuncup-kuncup muncul dari dalam tanah yang menggulita. Mencari cahaya,
mengikuti cahaya, tumbuh dan semakin besar – hanya dalam satu detik. Alam bawah
sadar menguasai. Jangan ragu, katanya. Ini bukan nafsu seorang pria yang hanya
melihat wanita sebagai benda yang dapat dinikmati. Ini bukan pandangan pertama
yang dikuasai hormon testoteron purba yang hanya mengandalkan selangkangan. Ini
adalah rasa abstrak yang tenang, ringan, lembut, tapi menguasai. Inilah rasa
yang selalu kau nanti, yang kau pikir ada di tubuhmu tahun lalu tapi ternyata
salah. Inilah yang kau tunggu, takdirmu telah menunggu dan kini kau yang
memutuskan.
Otot-otot bergerak bergerak tanpa menunggu perintah. Paha
mendorong naik, pinggul mengangkat, tangan menyimbangkan, kaki bergerak. Aku
sudah berada di depannya, meminta simbol yang diberikan kepadanya saat ia
lahir, yang dibawanya hingga mati nanti. Nisa, dia bilang, atau panggil saja
Enca. Haha, lucu sekali namanya. Nama yang selalu aku pikir indah. Nama yang
selalu ingin aku sebut-sebut. Nisa Nisa Nisa. Melodi antara ‘i’ dan ‘sa’ yang
sangat indah. Lidah menyentuh atap mulut sesaat lalu dilepas, dan menyentuh
lagi agak lama sambil agak berdesis ‘ssssa’.
Inilah malam kemanusiaan. Malam manusia menjadi manusia.
Malam manusia menentukan takdirnya.
Dan aku telah menentukan takdirku. Aku kini telah menjadi
manusia.
16/07/15
No comments:
Post a Comment