like the flowing river

be like the flowing river.
silent in the night.
be not afraid of the dark.
if there are stars in the sky,
reflect them back.
if there are clouds in the sky,
remember, clouds, like the river, are water.
so, gladly reflect them too,
in your own tranquil depths.

~manuel bandeira

Friday, October 30, 2015

n i ssssssa



Malam hiruk. Gelap pikuk. Instrumen-instrumen musik ditata, disiapkan, menyiapkan sebuah permainan melodi dan nada yang terangkai dan mengharmoni. Kuning cahaya memberikan kemilau seadanya pada wujud-wujud di sana. Hari itu, malam itu, didedikasikan untuk sahabat saudara sebuah jurusan yang menempati gedung paling tua, sedang bertarung melawan sel-sel ganas yang mengamuk di tubuhnya. Materi seadanya dikumpulkan, berharap seadanya itu cukup untuk kami ada di sisinya melawan amukan tubuhnya sendiri. 

Ini sebuah momen humanis. Momen kekeluargaan. Momen makhluk sosial bersosial. Momen manusia bermanusia. Momen sang eksisten mengeksistensikan dirinya.
Sang Jantan berlalulalang. Beradu gaya, beradu eksistensi. Para perempuan berjalan seakan itu panggung. Memoles propertinya, mempromosikan propertinya, begitu istilah Nukila Amal. Diam menjadi terbelakang. Berada di luar lingkaran adalah memalukan.
Aku duduk di belakang. Di luar lingkaran. Observasi terhadap sebuah momen krusial manusia itu. Dua temanku bersama saya, ikut termangu melihat kemanusiaan yang terjadi.

Hingga suatu detik, bunga rumput di antara bunga-bunga mawar bunga-bunga matahari bunga-bunga lili muncul dari permukaan. Datang entah dari mana. Tidak memoles tidak membusung. Duduk di luar lingkaran, mungkin enggan berada di antara bunga-bunga narisistis itu, ikut mengamati.
Sedari dulu aku selalu tertarik terhadap yang biasa, tidak menonjol, tidak membusung, tidak mencolok, tidak disorot sekian lusin lampu di tengah panggung disoraki penonton. Yang biasa itu adalah yang tidak biasa. Menjadi tinggi oleh kerendahannya. Dituju mata seperti nada biru yang diam di antara nada-nada kuning dan merah yang mencolok. Diam, tetapi lantang. Indah. Sahaja. Tinggi, tidak meninggi dan meninggikan. Dengan alami seperti bambu menyejukkan merunduk bergemulai tertiup angin eksotis, bukan cemara yang tinggi besar dingin angkuh tajam. 

Sering kali di dalam hidup satu detik, hanya satu detik saja, mengubah segalanya. Satu kata yang keluar dalam satu detik memutus keluarga, persahabatan, hubungan. Satu tinju dalam satu detik menghacurkan sekota. Satu tatap dalam satu detik memecut orang-orang. Satu pikiran dalam satu detik mengubah laku dan aksi. Satu senyum dalam satu detik mewarnai hidup monokrom. Satu terima kasih dalam satu detik mengangkat hati hancur. Satu kasih sayang, hanya dalam satu detik, mengubah takdir hidup.

Dan satu detik itulah pikiranku mengubah tekadku. Di dalam satu detik itu tekadku mengubah laku dan aksiku. Di dalam satu detik itu, takdirku ditentukan. Ketidakpercayaan diri tertimbun. Keyakinan muncul ke permukaan. Kuncup-kuncup muncul dari dalam tanah yang menggulita. Mencari cahaya, mengikuti cahaya, tumbuh dan semakin besar – hanya dalam satu detik. Alam bawah sadar menguasai. Jangan ragu, katanya. Ini bukan nafsu seorang pria yang hanya melihat wanita sebagai benda yang dapat dinikmati. Ini bukan pandangan pertama yang dikuasai hormon testoteron purba yang hanya mengandalkan selangkangan. Ini adalah rasa abstrak yang tenang, ringan, lembut, tapi menguasai. Inilah rasa yang selalu kau nanti, yang kau pikir ada di tubuhmu tahun lalu tapi ternyata salah. Inilah yang kau tunggu, takdirmu telah menunggu dan kini kau yang memutuskan.

Otot-otot bergerak bergerak tanpa menunggu perintah. Paha mendorong naik, pinggul mengangkat, tangan menyimbangkan, kaki bergerak. Aku sudah berada di depannya, meminta simbol yang diberikan kepadanya saat ia lahir, yang dibawanya hingga mati nanti. Nisa, dia bilang, atau panggil saja Enca. Haha, lucu sekali namanya. Nama yang selalu aku pikir indah. Nama yang selalu ingin aku sebut-sebut. Nisa Nisa Nisa. Melodi antara ‘i’ dan ‘sa’ yang sangat indah. Lidah menyentuh atap mulut sesaat lalu dilepas, dan menyentuh lagi agak lama sambil agak berdesis ‘ssssa’. 

Inilah malam kemanusiaan. Malam manusia menjadi manusia. Malam manusia menentukan takdirnya. 

Dan aku telah menentukan takdirku. Aku kini telah menjadi manusia.

16/07/15