like the flowing river

be like the flowing river.
silent in the night.
be not afraid of the dark.
if there are stars in the sky,
reflect them back.
if there are clouds in the sky,
remember, clouds, like the river, are water.
so, gladly reflect them too,
in your own tranquil depths.

~manuel bandeira

Wednesday, December 14, 2016

Aku mencintai masalalumu, masakinimu, masadepanmu.



Mereka bilang hidup itu seperti musik, seperti tarian, seperti orkestra, bukan seperti perjalanan. Kita menikmati musik karena kita mendengarkan ketika ketukan nada pertama dimulai dibalut dan berdenting bersama ketukan-ketukan nada lainnya selama jangka waktu tertentu. Kita datang ke sebuah konser musik bukan untuk mendengarkan ketukan nada terakhirnya saja – tetapi seluruh harmoni suara ini itu dari sana sini selama konser itu berlangsung. Tarian indah karena rangkaian organ-organ tubuh yang bergerak-gerak menari mengayun. Bukan seperti sebuah perjalanan yang punya tujuan akhir yang dituju.

Kita punya mimpi. Kita punya tujuan. Kita punya akhir. Semua punya akhir. Musik dan tarian paling indah pun menjadi membosankan kalau tidak ada akhirnya. Tapi jalannya lah yang kita nikmati. Segala naik turun cepat lambatnya yang membuatnya indah. 

Aku bertemu denganmu ketika musikmu sudah ada ditengah rangkaian not balok mu sudah jauh berjalan. Datang tidak sengaja dibawa oleh hasrat ingin tahu. Tidak tahu siapa yang sedang bermain di sana dan apa yang dimainkannya. Pun tidak dapat menebak berapa lama lagi pertunjukan ini berakhir. Aku datang begitu telat. Tapi tak apa – karena aku yakin permainanmu akan indah ketika mendengar rangkaian nada instrumen untuk pertama kalinya. Aku memilih untuk duduk dan mendengarkan. 

Tapi simfoni belum berakhir dan tidak tahu kapan nada terakhir diketuk. Ini belum apa-apa ternyata. Aku kira aku muncul di tengah. Tapi ternyata baru dimulai. Aku masih menikmati, terus, dan akan terus menikmati. Nyatanya aku terpikat dan semakin terikat. Ada jenuh muncul di tengah, ada marah mendidih di situ, hasrat mencinta meluap, sedih menusuk, tapi rasa sayang terus menyelimuti. Tarianmu begitu indah dan aku tidak ingin melewati sedetikpun. Aku ingin pergi tapi kakiku enggan beranjak. Badanku malah ikut menari dan bermain bersamamu. Hasratku tidak dapat ditahan.
Aku memang datang terlambat, tapi tepat pada waktunya. Aku jatuh cinta. Pada masalalumu, masakinimu, dan masadepanmu. Kita akan bermain bersama sampai teater ini menyudahi.


14/12/2016
diketik saat menunggu orang datang makan bubur

Gila.



Postingan pertama tahun ini dibuat pada awal Januari. Postingan kedua ditulis dua minggu kemudian. Tepat sebulan kemudian baru diketik tulisan ketiga. Tapi setelah itu: kosong. Saya kira saya akan sanggup merawat blog yang ditulis seperti sebotol soda yang dibuka. Sebentar saja bersemangat untuk tak lama hilang kembali – selama enam tahun. Dan kini baru diisi lagi dua minggu menjelang tahun penuh kegilaan ini berakhir. Mungkin terlalu cepat juga untuk menulis tentang tahun ini, tetapi tak apalah karena inilah yang ada di otak saya sembari menunggu seseorang dating membeli bubur.
Kosong bukanlah kosong karena kosong sesungguhnya keadaan yang tidak ada (apalah ini sungguh saya hanya asal mengetik bukan tulisan ilmiah filosofis dengan kajian mumpuni). Tahun ini gila. Gila segila-gilanya. Kalau dipikir-pikir memang menakjubkan jalan yang entah bagaimana muncul di sana sini dan saya putuskan (atau diputuskan) untuk dilewati.
Sekian.