“An’ they chased him ‘n’ never could catch him ‘cause they didn’t know
whay he looked like, an’ Atticus, then they finally saw him, why he hadn’t done
any of those things . . . Atticus, he was real nice . . . . “
His hands were under my chin, pulling up the cover, tucking it around
me.
“Most people are, Scout, when you finally see them.”
He turned out the light and went into Jem’s room. He would be there all
night, and he would be there when Jem waked up in the morning.
---
Baru saja selesai membaca buku klasik To Kill A Mockingbird
dari Harper Lee. Buku yang sudah saya beli dari tahun 2008 tapi baru selesai
sekarang karena merasa bahasanya yang sangat berat dan tidak lazim. Dengan
karakter bernama Scout dan Jem, tidak jelas mereka umur berapa, berkelamin apa,
hubungannya apa, menjadi sangat sulit untuk melanjutkan lebih dari 10 halaman.
Tapi bulan lalu saya memutuskan untuk menyelesaikannya ketika menemukannya di
tumpukan buku-buku di dalam kardus bawah tangga. Lembabnya udara pun sudah
mewarnai coklat lembaran-lembaran buku klasik itu.
Impressive. Dengan
karakter anak kecil berumur 6 tahun dan 11 tahun buku ini lebih menceritakan
tentang Kasih – satu ajaran yang digembar-gemborkan oleh Kristianitas, agama
yang begitu sarat terkandung di dalam buku ini karena menceritakan sebuah kota
kecil di Amerika Selatan tahun 1950-an. Semua tokohnya pun diaku beragama
Kristen dan rutin ke Gereja setiap minggunya. Pun wewanitanya rajin berkumpul
setiap sore untuk ‘ngerumpi’ dan banyak mebicarakan Yesus dan Bapa dan Roh Kudus.
Bagaimanapun religiusnya penduduk kota kecil Maycomb itu,
ada satu hal yang umum dan menjadi ketentuan di era itu adalah bahwa manusia
kulit putih lebih mulia dari para budak kulit hitam yang dicabut seluruh haknya
sebagai ciptaan Tuhan yang sama-sama mereka sembah. Sebuah paradoks yang
dirasionalkan oleh hasrat keserakahan orang putih zaman itu menggunakan alat
agama. Sekencang-kencangnya para pendeta mendengungkan Kasih Bapa, manusia
kulit hitam tetap layak untuk diinjak dan dieksploitasi.
Begitu jenius Harper Lee menghidupkan dua tokoh polos tak
berdosa bernama Jean Louise Scout dan Jeremy. Yang keduanya menyerap seluruh
kecerdasan dan kebijaksanaan dari sang ayah Atticus Finch – seorang pengacara
jenius di kota itu. Kebajikan mereka ditantang ketika seorang budak kulit hitam
Tom Robinson dituduh memerkosa putri dari Bob Ewell, Mayella Ewell. Sang Ayah
pun disindir dan dimaki karena mengambil badan membela Tom yang ia yakin tidak
bersalah. Hingga pada Persidangan, Atticus memutarbalikan fitnahan Mayella
Ewell yang ternyata justru menggodai Tom Robinson untuk bercinta dengannya.
Hanya ketika Tom menolak dan mencoba lari, ayahnya datang. Demi melindungi
harga dirinya Mayella menunjuk Tom dengan berteriak-teriak seakan baru saja
diperkosa. Sejelas-jelasnya fakta sudah terbuka pun belum cukup bagi Tom untuk
bisa lepas. Kulit hitamnya kini mencegahnya untuk menang dari si kulit putih di
persidangan.
Nurani Scout dan Jem terguncang. Mereka jelas-jelas
memenangkan kasus itu dan bagaimanapun tetap tidak bisa keluar dari kotak yang
sudah begitu tinggi dan tebal dibuat di antara mereka dan kulit hitam. Walau
Kasih Bapa tidak terbatas dan tidak mengenal batas, ternyata kasih manusia
hanya pilih-pilih. Hanya Atticus juga dua anaknya saja yang berani mendobrak batas
itu mengasihi semuanya tanpa pilih-pilih.
Hasrat untuk menjadi hakim melebihi si hakim dan Maha Hakim
juga menjerat dari kasih manusia untuk bisa lepas ke seluruh umat. Buku ini
menggambarkan jelas dalam diskriminasi kulit hitam dan putih. Juga dengan kepolosan
Scout dan Jem, yang menciptakan sosok mengerikan dari tetangganya, Boo Radley,
yang tidak pernah keluar rumah selama belasan tahun. Menginjak halaman rumahnya
saja pun mereka tidak berani karena setanlah yang berada di bayangan mereka
terhadap tetangga yang aslinya bernama Arthur Radley itu. Namun, pada akhirnya Arthur
yang menolong Jem dan Scout ketika mereka diserang oleh Bob Ewell yang ingin
membalaskan dendamnya pada Atticus. Scout bahkan memegang langsung tangannya
dan mengantarnya sampai ke halaman rumah Arthur dan bilang, “Atticus was right.
One time he said you never really know a man until you stand in his shoes and
walk around in them.”
Sebagai manusia mata kita diselaputi oleh filter sebelum
sampai ke otak dan dicerna oleh hati. Seringkali filter itu terlalu tebal
sampai kita melihat sesuatu jauh dari realita. Sering kali juga filter itu
sudah terlalu lama ada di sana hingga kita menganggap ia tidak ada. Sering kali
pula kita menganggap dunia itu demikian adanya, padahal dunia kita dikotak-kotakan
dan kita tidak sadar kalau kita ada di dalam kotak itu. Hanya keberanian dan
kemurnian hati kita lah yang dapat melepas filter itu dan mendobrak kotak yang
membatasi kita. Supaya Kasih kita menjadi seperti Kasih Bapa yang tidak
terbatas dan tidak mengenal batas.
Lampung, 08/02/16