like the flowing river

be like the flowing river.
silent in the night.
be not afraid of the dark.
if there are stars in the sky,
reflect them back.
if there are clouds in the sky,
remember, clouds, like the river, are water.
so, gladly reflect them too,
in your own tranquil depths.

~manuel bandeira

Tuesday, February 16, 2016

to kill a mockingbird



“An’ they chased him ‘n’ never could catch him ‘cause they didn’t know whay he looked like, an’ Atticus, then they finally saw him, why he hadn’t done any of those things . . . Atticus, he was real nice . . . . “
His hands were under my chin, pulling up the cover, tucking it around me.
“Most people are, Scout, when you finally see them.”
He turned out the light and went into Jem’s room. He would be there all night, and he would be there when Jem waked up in the morning.
---

Baru saja selesai membaca buku klasik To Kill A Mockingbird dari Harper Lee. Buku yang sudah saya beli dari tahun 2008 tapi baru selesai sekarang karena merasa bahasanya yang sangat berat dan tidak lazim. Dengan karakter bernama Scout dan Jem, tidak jelas mereka umur berapa, berkelamin apa, hubungannya apa, menjadi sangat sulit untuk melanjutkan lebih dari 10 halaman. Tapi bulan lalu saya memutuskan untuk menyelesaikannya ketika menemukannya di tumpukan buku-buku di dalam kardus bawah tangga. Lembabnya udara pun sudah mewarnai coklat lembaran-lembaran buku klasik itu.

Impressive. Dengan karakter anak kecil berumur 6 tahun dan 11 tahun buku ini lebih menceritakan tentang Kasih – satu ajaran yang digembar-gemborkan oleh Kristianitas, agama yang begitu sarat terkandung di dalam buku ini karena menceritakan sebuah kota kecil di Amerika Selatan tahun 1950-an. Semua tokohnya pun diaku beragama Kristen dan rutin ke Gereja setiap minggunya. Pun wewanitanya rajin berkumpul setiap sore untuk ‘ngerumpi’ dan banyak mebicarakan Yesus dan Bapa dan Roh Kudus. 

Bagaimanapun religiusnya penduduk kota kecil Maycomb itu, ada satu hal yang umum dan menjadi ketentuan di era itu adalah bahwa manusia kulit putih lebih mulia dari para budak kulit hitam yang dicabut seluruh haknya sebagai ciptaan Tuhan yang sama-sama mereka sembah. Sebuah paradoks yang dirasionalkan oleh hasrat keserakahan orang putih zaman itu menggunakan alat agama. Sekencang-kencangnya para pendeta mendengungkan Kasih Bapa, manusia kulit hitam tetap layak untuk diinjak dan dieksploitasi. 

Begitu jenius Harper Lee menghidupkan dua tokoh polos tak berdosa bernama Jean Louise Scout dan Jeremy. Yang keduanya menyerap seluruh kecerdasan dan kebijaksanaan dari sang ayah Atticus Finch – seorang pengacara jenius di kota itu. Kebajikan mereka ditantang ketika seorang budak kulit hitam Tom Robinson dituduh memerkosa putri dari Bob Ewell, Mayella Ewell. Sang Ayah pun disindir dan dimaki karena mengambil badan membela Tom yang ia yakin tidak bersalah. Hingga pada Persidangan, Atticus memutarbalikan fitnahan Mayella Ewell yang ternyata justru menggodai Tom Robinson untuk bercinta dengannya. Hanya ketika Tom menolak dan mencoba lari, ayahnya datang. Demi melindungi harga dirinya Mayella menunjuk Tom dengan berteriak-teriak seakan baru saja diperkosa. Sejelas-jelasnya fakta sudah terbuka pun belum cukup bagi Tom untuk bisa lepas. Kulit hitamnya kini mencegahnya untuk menang dari si kulit putih di persidangan. 

Nurani Scout dan Jem terguncang. Mereka jelas-jelas memenangkan kasus itu dan bagaimanapun tetap tidak bisa keluar dari kotak yang sudah begitu tinggi dan tebal dibuat di antara mereka dan kulit hitam. Walau Kasih Bapa tidak terbatas dan tidak mengenal batas, ternyata kasih manusia hanya pilih-pilih. Hanya Atticus juga dua anaknya saja yang berani mendobrak batas itu mengasihi semuanya tanpa pilih-pilih.

Hasrat untuk menjadi hakim melebihi si hakim dan Maha Hakim juga menjerat dari kasih manusia untuk bisa lepas ke seluruh umat. Buku ini menggambarkan jelas dalam diskriminasi kulit hitam dan putih. Juga dengan kepolosan Scout dan Jem, yang menciptakan sosok mengerikan dari tetangganya, Boo Radley, yang tidak pernah keluar rumah selama belasan tahun. Menginjak halaman rumahnya saja pun mereka tidak berani karena setanlah yang berada di bayangan mereka terhadap tetangga yang aslinya bernama Arthur Radley itu. Namun, pada akhirnya Arthur yang menolong Jem dan Scout ketika mereka diserang oleh Bob Ewell yang ingin membalaskan dendamnya pada Atticus. Scout bahkan memegang langsung tangannya dan mengantarnya sampai ke halaman rumah Arthur dan bilang, “Atticus was right. One time he said you never really know a man until you stand in his shoes and walk around in them.”

Sebagai manusia mata kita diselaputi oleh filter sebelum sampai ke otak dan dicerna oleh hati. Seringkali filter itu terlalu tebal sampai kita melihat sesuatu jauh dari realita. Sering kali juga filter itu sudah terlalu lama ada di sana hingga kita menganggap ia tidak ada. Sering kali pula kita menganggap dunia itu demikian adanya, padahal dunia kita dikotak-kotakan dan kita tidak sadar kalau kita ada di dalam kotak itu. Hanya keberanian dan kemurnian hati kita lah yang dapat melepas filter itu dan mendobrak kotak yang membatasi kita. Supaya Kasih kita menjadi seperti Kasih Bapa yang tidak terbatas dan tidak mengenal batas.


Lampung, 08/02/16