Baru saja menyelesaikan buku Burung-burung Manyar karya Romo Mangunwijaya. Pertama kali lihat buku itu Januari lalu tanpa pikir panjang saya langsung membelinya. Hanya baru sempat baca 13 Mei kemarin saat pergi ke Bali untuk mengisi waktu di perjalanan. Saya lahap buku itu saat sedang menunggu di bandara, di pesawat, di bus, di hotel, mana saja saat tidak ada kerjaan.
Awalnya saya benar-benar tidak mengerti buku apa ini. Saya hanya tertarik dari nama pengarangnya saja. Baca keterangan di belakangnya pun tidak bisa menjelaskan tentang apa buku ini. Tapi, yah, yakin saja dengan kualitas penulisnya, Romo Mangun. Tapi sebentar saya baca, hanyutlah saya ke dalam alur pemikiran si tokoh utama, Setadewa. Bahasanya begitu sederhana, lugas,polos, jujur, tetapi menusuk. Layaknya alam pikir orang-orang biasa. Benar-benar tidak seperti sangkaan saya bahwa buku ini bakal sangat formal dan berat karena diciptakan Romo Mangun yang sangat intelektual.
Awalnya juga saya bingung, kenapa sih judulnya Burung-burung Manyar. Kenapa burung? Seperti apa pula burung manyar itu? Sepanjang membaca buku saya mencoba-coba menghubungkan alur cerita dengan judul buku. Tetapi tetap saja tidak mengerti.
Rupanya Romo Mangun ingin menjelaskan karakter dan jalan hidup sang tokoh utama Setadewa yang bernama kecil Teto ini. Teto adalah seorang Sinyo ningrat, ber-ibu Indo ningrat dan ayah Jawa ningrat yang menjabat Letnan di Tentara Kerajaan Belanda di Hindia, jabatan yang tinggi untuk ditempati oleh seorang berwarna. Tetapi begitu-begitu orangtuanya tidak suka dengan kehidupan dan watak para ningrat Jawa sehingga tidak hidup di lingkungan keraton. Ayahnya ceplas ceplos tetapi sangat jujur. Karakter ini menurun ke Teto yang adalah salah seorang anak kolong di Magelang, kotanya.
Kesamaan karakter juga ditemui pada karakter Atik kecil, Raden Ajeng Larasati. Ya, dari namanya dia juga anak seorang ningrat. Ibunya anak angkat keraton namun sangat rendah hati. Ayahnya pegawai kehutanan di Bogor. Tidak suka dengan lingkungan keraton, Atik hidup jauh situ. Ayahnya malah menjejalinya dengan buku sehingga Atik sangat suka alam, burung, membaca, sangat berwawasan dan kritis, karakter yang sangat sulit ditemui pada perempuan ningrat Jawa.
Atik dan Teto sempat bertemu dan bermain. Hanya saja tidak terlalu dekat. Atik tidak suka dengan Teto yang tidak punya aturan, nakal, dan pernah membuat kesepakatan permainan yang tidak adil. Atik pernah menampar Teto karena main cium Atik. Tetapi, Atik mengagumi Teto yang berani terjun ke sungai ketika topi ibunya jatuh terbawa angin saat sedang plesir di pinggir sungai.
Cerita berlanjut saat dunia mereka yang mapan berubah ketika Jepang datang menyerang Hindia. Ayahnya yang seorang letnan harus berpindah-pindah tempat untuk sembunyi karena mengatur gerakan bawah tanah melawan Jepang. Sementara Teto dengan Ibunya harus hidup dengan pas-pasan menumpang di rumah-rumah keluarganya. Sampai suatu hari, ketika ia sedang menempung pendidikan di Semarang, ia dikirimi surat oleh seorang perempuan supaya ia datang ke Jakarta beserta dengan uangnya. Seminggu baru ia memenuhi undangan surat tersebut. Ternyata itu adalah Atik, dan katanya maminya ada di sana juga. Berlinang air mata mereka bertemu karena papinya ternyata tertangkap oleh Jepang. Praktis kehidupan Teto dan maminya bergantung kepada keluarga Atik. Tapi dari situlah Teto menjadi dekat dengan Atik layaknya abang dan adik. Sayang, keadaan diperparah beberapa waktu kemudian ketika ia dipanggil oleh maminya Atik, Ibu Antana, dengan suasana suram. Maminya menerima surat ultimatum dari pemimpin Jepang yang menangkap ayahnya, menjadi gundiknya atau suaminya dibunuh. Cintanya yang begitu besar kepada suaminya tentu saja membawanya mengorbankan diri. Marah, dendam, benci, sedih, depresi meliputi Teto kepada Jepang membulatkan niatnya untuk bergabung ke dalam KNIL melawan Jepang dan melawan gerakan Soekarno.
Pilihan hidupnya membawanya menjauh sejauh-jauhnya dari Atik dan keluarga Antana. Atik memilih jalan hidup lain. Kepintaran dan nasionalismenya membawanya menjadi sekretaris Syahrir karena ayahnya pun juga ikut berjuang di pihak Soekarno. Atik memperjuangkan kemerdekaan, Teto melawan kemerdekaan. Akhirnya pun sudah kita ketahui, Republik akhirnya terbentuk dan Teto sebaga pihak yang kalah terpaksa tidak jelas menjadi warga negara mana karena akhirnya KNIL dibubarkan dan ia dicap sebagai pengkhianat bangsa.
Hidup berlanjut. Teto akhirnya menjadi manajer produksi perusahan minyak multinasional sebagai seorang ahli computer yang berharga 10 kali seorang menteri. Perusahaannya saat itu akan berinvestasi di Indonesia dengan model komputer atau hitungan minyak yang dibuat meleset sehingga merugikan Indonesia sebanyak jutaan dollar per tahun. Hati nurani dan prinsipnya menggerakkannya untuk memberitahukan model ini kepada pemerintah Indonesia. Temannya saat itu menganjurkannya kepada Janakatamsi, suami dari Ibu Larasati Janakatamsi. Kebetulan temannya diundang untuk hadir ke sidang doktoral Atik tetapi tidak bisa hadir sehingga diberikan ke Teto. Bertekad untuk akhirnya bertemu dengan Atik setelah puluhan tahun menghilang, Teto hadir di sidang tesis Atik hari itu yang berjudul Jati diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus Manyar.
Di sinilah ‘kesimpulan’ dari buku ini. Dalam presentasinya Atik menjelaskan bahwa burung-burung manyar jantan ketika musim kawin membangun sarang-sarangnya terlebih dahulu untuk memikat para betina, baru kemudian manyar betina akan memilih yang terbaik. Jantan yang tidak terpilih sarangnya lalu menghancurkan dan membangun ulang sarang yang telah dibuatnya untuk mengundang betina yang lain. “Dari mana datang perilaku yang mengaburkan pembatasan tajam antara yang disebut naluri yang dipastikan dan sikap sadar yang disanggup untuk memilih? Sanggup memilih mengandalkan suatu kemampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi? ... Dari pihak lain, dari mana perasaan sedih dan kecewa dan kejengkelan yang lalu melolosi dan merombak sesuatu yang dinilainya gagal? Dari mana lalu datang tekad baru yang kreatif kembali, yang mengandalkan jiwa yang punya harapan, yang tidak menyerah hanyut namun aktif menimbulkan fajar yang baru?” Begitu pertanyaan yang dilontarkan oleh Atik dalam sidangnya. Pengetahuan mengenai pengambilan keputusan dan naluri nasib yang tunduk pada kepastian buta yang menolong kita memahami hal-hal yang kolektif, yang merupakan insting keharusan adat dan kebiasaan nasional, berpadu dengan segala yang kreatif, yang khas dan pribadi. Kita boleh memilih keputusan apapun yang akan berpengaruh terhadap jalan hidup kita, tetapi kita terikat dengan jutaan benang tak terlihat dengan alam raya.
Atik menjelaskan pula bahwa hidup ini tidak hanya mengenai kesimpulan perhitungan buta oleh komputer-komputer dingin. Hidup ini mendambakan innerlichkeit atau jati diri, suatu sumber kesadaran diri dalam lubuk kedalaman hakikat manusia yang senantiasa menjadi misteri. Jati diri inilah yang akan terbawa dalam kesadaran diri dan hasrat mencurahkan diri kepada makhluk lain. Dari sini timbul bahasa yang memancar ke luar, yaitu bahasa citra; citra-diri, ada-diri.
Atik kemudian bertemu dengan Teto dan keluarganya menganggap Teto sebagai abang. Cinta Teto kepada Atik terpaksa dipendam karena status pernikahan Atik dengan Jana yang sudah membuahkan 3 orang anak. Namun, Teto ingin membahagiakan mereka dengan menghadiahi mereka tiket haji. Namun, naas, kisah Setadewa dan Larasati berakhir dengan jatuhnya pesawat yang menerbangkan mereka ke Mekkah. Ia pun mengangkat ketiga anak mereka menjadi anaknya.
Di akhir cerita, Teto yang hatinya sudah dingin ketika menerima berita tersebut mempertanyakan mengapa hidupnya selalu dipenuhi dengan ketidaktercapaian. Namun, itulah ‘perhitungan’ yang telah terjadi. Melihat ketiga anak Atik dan Jana yang akan ia besarkan dan mekar mengingatkannya kepada burung manyar, yang mendedikasikan diri mereka untuk anak-anaknya bahkan sebelum mereka kawi
n, sebagai bahasa citra mereka. Untuk itulah perhitungan segala takdir hidupnya terjadi.
Buku ini benar-benar menghanyutkan saya. Jalan ceritanya begitu nyata. Emosi di dalamnya berluap. Alur terjadi seperti kenyataan yang menusuk dan kejam. Tapi kenyataan itu kenyataan seperti guru yang yang bijak mengajarkan hidup, walaupun tanpa ampun. Jati diri pula yang ternyata menjadi inti dari cerita ini. Jati diri dan bahasa citra. Jati diri bangsa Indonesia yang baru terbentuk sebagai bangsa yang telah lama terjajah. Bangsa yang bermental kuli, termangut-mangut di bawah orang asing dan ningrat dan telah kehilangan jati dirinya. Tidak lagi mempunyai harga diri.
Menarik pula melihat banyak bagian-bagian buku ini yang menyinggung estetika, mengingat latar belakang si penulis yang juga seorang arsitek. Romo Mangun juga mengkritisi bagaimana hilangnya identitas dan jati diri bangsa Indonesia tercermin dari arsitekturnya yang tidak lagi indah di tengah alam Indonesia yang begitu indah.
Menutup resensi buku ini, saya ingin mengutip perkataan Teto kepada Atik yang menjadi salah satu favorit saya: “Menerima kasih dan member kasih itu perkara yang satu tunggal, Tanpa ada yang menerima, orang juga tidak bisa memberi. Maka, menerima kasih sekaligus juga member kasih karena memungkinkan orang lain memberi kasih.” Itulah bahasa kasih yang dilihatkan oleh jati diri burung manyar.
like the flowing river
be like the flowing river.
silent in the night.
be not afraid of the dark.
if there are stars in the sky,
reflect them back.
if there are clouds in the sky,
remember, clouds, like the river, are water.
so, gladly reflect them too,
in your own tranquil depths.
~manuel bandeira
silent in the night.
be not afraid of the dark.
if there are stars in the sky,
reflect them back.
if there are clouds in the sky,
remember, clouds, like the river, are water.
so, gladly reflect them too,
in your own tranquil depths.
~manuel bandeira
Saturday, May 23, 2015
Friday, May 22, 2015
It's been 3 years since the last time I updated my blog, which was like 1 year after the last update at 2010.
One of my 2015 resolution I made is making a blog. At first, I'd like making new blog, new site, but kind of hard to find a website besides blogger that suits me well. So I just opened my old blog and reread it. My first thought is: FUNNY.
You know, how funny it is, to read what your mind was like yeeaaarrsss ago. How naive your thinking was, how calm you was, how much you have changed since then. And I think it is what makes blogging is useful. You can easily review your past, muse it, learn it, and now that you have contemplated, you can make a better self.
I was planning to delete my old blog because at first it is quite shameful. But, no, I will not delete it and I will continue my blog. I will make some changes, though. Just wait !! :)
I think I'm talking to myself. Who ever read my blog anyway? hahahah
One of my 2015 resolution I made is making a blog. At first, I'd like making new blog, new site, but kind of hard to find a website besides blogger that suits me well. So I just opened my old blog and reread it. My first thought is: FUNNY.
You know, how funny it is, to read what your mind was like yeeaaarrsss ago. How naive your thinking was, how calm you was, how much you have changed since then. And I think it is what makes blogging is useful. You can easily review your past, muse it, learn it, and now that you have contemplated, you can make a better self.
I was planning to delete my old blog because at first it is quite shameful. But, no, I will not delete it and I will continue my blog. I will make some changes, though. Just wait !! :)
I think I'm talking to myself. Who ever read my blog anyway? hahahah
Subscribe to:
Comments (Atom)

